MELODI BISU DI ATMOSFER
Siti Ma’rufah X IPA

By Redaktur 23 Jan 2019, 09:40:15 WIB Tulisan Siswa

MELODI BISU DI ATMOSFER

(Siti Ma’rufah X IPA)

 

Baca Lainnya :

Dinginnya udara pagi  yang  menerpa kulit wajahku membuat berdiri bulu-bulu di wajah. Tajam menusuk hingga ke tulang pipiku. Perlahan-lahan kubuka mata layaknya tirai di kamar yang di paksa untuk dibuka. Gelap… Masih gelap. Pemandangan Pesantren Modern pukul 2 dini hari memang selalu gelap. Hanya beberapa tempat yang masih terang karena cahaya lampu yang semakin temaram di makan usia. Rumput-rumput di   halaman asrama tertidur lelap diterpa dinginnya angin malam.

Ku paksa sendi-sendi tubuhku untuk  bangkit melawan hawa dingin. Kurapikan selimut dan kulempar di atas bantal. Kurenggangkan lengan dan mulai  menguap. Menghempaskan rasa kantuk yang tersisa dengan mengerjapkan mata. Teman-teman sekamar yang tertidur berjajar menjadi pemandangan rutin setiapku bangun tidur. Mereka tertidur seperti ikan tongkol yang dijemur di atas tampah persegi. Ku ambil peralatan mandiku dan melangkah menuju kamar mandi. Tiba-tiba langkahku terhenti. Bukan karena takut tapi karena rokku ditarik oleh temanku Ainur.

"KA-MU MA-U KE-MA-NA ?," gerak bibir Ainur yang tertangkap oleh mataku. Terlihat pelan seperti mengeja. "MAN-DI," jawabku. "Pasti hanya sengau yang keluar," tambahku dalam hati. "OH, MA-U TA-HA-JUD YA?," sergahnya. "YA .... SE-PER-TI BI-A-SA," jawabku sembari lalu.

Langit di luar masih gelap. Bulan bersinar malu-malu di balik awan. Bintang-bintang terlihat berserakan seperti berlian yang sengaja ditaburkan. Ku basuh tubuhku dengan air. Tidak terlalu dingin. Mungkin letak pesantren yang berada di dekat jalan raya membuat air di sini terasa cenderung hangat tapi tetap menyegarkan. Tidak sedingin daerah tempat tinggalku yang berada di kaki gunung. Aku selalu mandi lebih awal. Selain karena tahajud yang rutin, ku laksanakan juga untuk menghindari antrean mandi yang mengular panjang.

Mandi sudah usai. Wudu juga selesai. Ganti baju dan pakai mukena juga sudah siap. Tinggal pergi ke masjid dan solat tahajud. Dinginnya lantai masjid pesantren yang terbuat dari marmer menjalar ke telapak kakiku. Membuatku mempercepat langkah dan bergegas menggelar sajadah. Ku serahkan hati dan jiwaku hanya pada Yang Kuasa. Ku syukuri nikmat Yang Kuasa dengan selalu menjalankan perintah-Nya. Juga kutambah dengan sunnah-sunnah sebagaimana di ajarkan rasul-Nya. Meski aku diciptakan-Nya tidak sempurna.

Ku ingat Sang Kuasa dengan terus berzikir memuja-Nya. Ku lafalkan doa tahajud yang sudah di luar kepala. Setelah itu ku lantunkan kalam suci dengan irama hijaz di dalam hati. Ku hayati makna-makna indah yang terlukis di dalamnya. Terdengar layaknya puisi indah karya sang seniman abadi. Bahkan jauh lebih indah dari sajak yang di tulis Rumi. Juga jauh lebih menyentuh daripada sajak yang di tulis Kahlil Gibran atau bahkan Chairil Anwar yang menggemparkan.

Tiba-tiba kenangan itu muncul. Kenangan lima tahun lalu. Ketika aku kelas empat SLB Santa Maria Jakarta Pusat. Waktu itu aku masih menjadi seorang kristiani. Setiap hari Minggu rutin aku pergi ke gereja untuk berdoa pada Yesus dan Bunda Maria bersama ibu dan ayahku juga adik semata wayangku. Elly Larasati. Waktu itu kami adalah salah satu keluarga bahagia. Mungkin paling bahagia malah. Tapi, setahun kemudian hidupku 180 derajat berubah total. Hidupku mulai seperti sinetron. Penuh dengan drama yang satu per satu mulai bermunculan. Rumah tangga yang dibangun orang tuaku mulai retak dan runtuh. Ayahku berselingkuh dengan teman lamanya. Lalu bercerai dan menikah dengan teman lamanya dan memulai hidup baru di Ukraina meninggalkan ibu dengan 2 orang anak.

Enam bulan setelah sidang perceraian, ibuku memutuskan menjadi muallaf dan berpindah ke Jawa Timur. Itupun desa yang sangat tertinggal. Terpaksa kami pun mengikuti kemauan mama karena memang kami tinggal bersama mama. Meninggalkan segala kemewahan hidup di Jakarta dan beralih pada kehidupan sederhana di desa. Meninggalkan teman sejawat di SLB Santa Maria

Menjadi muallaf memang tidak mudah. Membutuhkan 2 tahun untukku menghafal surat Al-Fatihah dan surat-surat pendek. Juga memahami solat dan kewajiban-kewajiban lain seperti zakat dan puasa yang menjadi kewajiban seorang muslim. Semua itu terasa sangat asing bagiku. Satu bulan tinggal di desa, aku dan Elly masuk di sekolah baru. Jangan bayangkan aku masuk di SD Negeri karena faktanya aku malah masuk di Sekolah Dasar Islam Terpadu yang sebagian besar mata pelajarannya bernotabene Islam. Tahun pertama pelajaran prestasiku memang tidak terlalu memuaskan. Tapi di tahun berikutnya prestasiku mulai cemerlang.

Rasa bangga ibu atas prestasiku tidak secara langsung diungkapkannya melalui kata-kata pujian atau berpesta-pesta ria tapi dicurahkannya melalui perhatiannya. Meskipun tidak secara utuh ku rasakan karena sebagai seorang janda yang menghidupi dua anak ibuku harus bekerja paruh waktu dengan membuka salon dan berjualan kue-kue basah.

Setelah lulus SD IT Al-Anwar aku melanjutkan sekolah ke pesantren yang kini lebih familiar disebut Pesantren Mantingan yang berada di Ngawi dengan jalur beasiswa penghafal Al-Qur'an. Tahun pertama pelajaran Aku selalu berhasil menjadi juara kelas. Bahkan di tahun itu juga aku berhasil memenangkan enam olimpiade di bidang sains. Meskipun aku bisu sejak lahir di tambah tuli karena letusan kembang api pada usia tiga tahun, aku bisa menunjukkan pada dunia bahwa berprestasi juga dapat diraih oleh seorang disabilitas bahkan difabel. Juga dapat membanggakan ibuku yang tinggal jauh dari pesantren. Aku dapat lebih cepat dalam menangkap dan memahami informasi baru dari teman-temanku. Bahkan pada tahun kedua pelajaran, aku memiliki IQ sebesar 159. Setelah mengikuti tes IQ yang diadakan tiga tahun sekali di pesantren ini. Berbeda satu angka dengan IQ Albert Enstein yakni 160.

            Kehadiran Ainur membuatku terkejut. Tiba-tiba saja ia duduk di sampingku. Menggelar sajadah merahnya. Saking terkejutnya sampai aku tidak dapat berkata-kata dan hanya menatapnya kesal. "A-DA A-PA ?," tanyanya tanpa dosa sambil menampilkan wajah polos yang di buat-buat.

"KA-MU ME-NGA-GET-KAN A-KU AI ....," jawabku disertai gerakan tangan. "A-KU TI-DAK NGA-GE-TIN, KA-MU-NYA A-JA YANG DA-RI TA-DI NGE-LA-MUN. NGE-LA-MUN A-PA SIH JENG CE-RI-TA DONK ..," tanyanya sambil memasang ekspresi wajah yang memelas dengan tatapan memohon. "TI-DAK A-KU TI-DAK NGE-LA-MUN," jawabku sembari memalingkan wajah ke arah jam masjid yang berdetik pelan juga untuk menghindari tatapan memohon Ainur yang membuatku tidak tahan.

Pukul setengah empat rupanya. Pantas saja Ainur sudah duduk di masjid. Lampu-lampu di masjid mulai dinyalakan. Menggantikan lampu temaram yang tertanam di dinding. Semua menjadi terang benderang. Lampu hias bergaya tempo dulu makin menambah semaraknya suasana dini hari di Pesantren Mantingan ini. Juga menambah kesan tua masjid ini. Terlihat dari arsitektur dan perabotannya. Lampu kaca tempo 90an tertanam di tengah masjid dengan ditarik rantai yang sudah berkarat meski sering sekali diganti. Jam dan tempat untuk khutbah pun terlihat sangat tua dengan cat yang mengelupas di sana-sini, sedangkan arsitekturnya berciri khas Belanda-Jawa. Masjid ini di resmikan oleh presiden kedua yakni Soeharto atas sumbangan dari Muslim Pancasila.

"A-JENG KA-MU TA-U NGGAK HA-RI I-NI A-DA SAN-TRI BA-RU," info Ainur yang membuat ku berhenti menatap sekitar dan memperhatikan gerak bibirnya. "PU-TRA A-TAU PE-REM-PU-AN?," tanyaku tidak peduli. Tetap  asyik dengan khayalanku sendiri. "PU-TRA," jawab Ainur. "DAN DI-A SA-TU KE-LAS SA-MA KA-MU. KA-TA-NYA DI-A I-TU PIN-TER BA-NGET DA-LAM HAL SE-NI. I-Q-NYA JU-GA TING-GI. GAN-TENG GAK YA ?,"Imbuh Ainur dengan simpatik. " A-JENG KA-MU KO-MEN-TAR DONK .... JA-NGAN CU-MA 'OH' ....," protes Ainur yang sedari tadi ku acuhkan.

Kumandang azan shubuh mulai menggelegar di seantero pesantren. Membangunkan pepohonan yang semalaman tertidur meringkuk kedinginan. Juga menggoyangkan rumput-rumput agar bertasbih memuji kuasa Sang Pencipta. Begitupun pesantren mantingan ini. Seluruh santri bersujud menyembah sang Illahi. Mensyukuri segala sesuatu yang Tuhan telah ciptakan. Memanjatkan serentetan doa penuh permohonan. Juga tak lupa beristighfar atas segala dosa-dosa yang lalai atau disengaja oleh jiwa dan raga sebagai umat manusia. Setidaknya itulah yang biasa ku panjatkan setiap kali aku solat.

Setelah sholat subuh biasanya diadakan pengajian tafsir ayat-ayat al-qur'an yang di pimpin oleh kyai manshur sendiri. "Allah telah menjelaskan dalam Al-qur'an yakni pada surat az-zumar ayat 53 yang berbunyi 'Allah telah mengingatkan dalam Al-qur'an kepada manusia yang melampaui batas agar jangan berputus asa dari rahmat-nya. Karena Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.‘’ Dalam ayat ini Allah sendiri telah menganjurkan pada kita agar kita jangan berputus asa dari rahmat Allah meskipun manusia itu sudah melampaui batas. Dahulu dikisahkan pada sebuah negeri terdapat dua desa yakni desa kafir dan desa muslim yang masing-masing desa tersebut dinamakan sesuai dengan masyarakat yang menghuni di desa tersebut. Berbanding terbalik dengan desa muslim yang hidup aman dan damai. Kedua desa tersebut di pisahkan dengan sungai besar dan hutan yang penuh binatang buas.

Suatu hari seorang pemuda dari desa jahat berpikir bahwa selama ia menjadi pemabuk dan pecandu ia tidak pernah merasa tenteram berbeda dengan desa muslim yang selalu hidup damai, saling menghargai, saling bantu-membantu, dan lain-lain yang sering didengarnya dari penduduk baru yang akhir-akhir ini banyak berdatangan di desanya untuk berdagang. Ia pun tertarik dan terbesit keinginan untuk bertaubat dan memulai hidup baru di desa muslim. Pada suatu pagi yang cerah dengan kicauan burung-burung di ranting pepohonan. 'Sungguh indah ciptaan-Mu Tuhan' tanpa disadari ia mengucapkan kata syukur atas apa yang telah Tuhan ciptakan, mulailah Ia berkelana menyeberangi hutan dan sungai yang banyak binatang buas tersebut selama berbulan-bulan Ia bertahan hidup tanpa perbekalan yang cukup, Ia berjuang menaklukkan rintangan yang tidak mudah dengan berprinsip pada mantra man jadda wa jadda 'siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil' katanya memantapkan hati.

Setelah melewati hutan dan sungai maka sampailah ia di suatu ladang milik warga desa muslim. Dari sana ia dapat melihat rumah-rumah penduduk desa muslim. Senanglah ia. Hatinya berbunga-bunga. Seluruh usaha dan jerih payahnya sebentar lagi berhasil hanya dengan beberapa kilometer lagi Ia akan menginjak tanah desa muslim. Terbayar sudah semua susah payahnya. Saking girangnya sampai Ia berjingkrak-jingkrak kegirangan.

Namun tanpa sadar ia telah menginjak ekor ular berbisa karena kegirangan. Ular itu mematuk kaki sang pemuda dan dengan cepat bisa ular itu menyebar beberapa menit kemudian pemuda itu mati di tempat itu sebelum menghirup atmosfer desa muslim. Malaikat Azab pun turun hendak membawa ruh pemuda tersebut namun ia dicegah oleh Malaikat Rahmat.

"Pemuda itu telah bertaubat maka berikanlah ruhnya padaku," kata Malaikat Rahmat meminta ruh pemuda untuk di bawa menuju surga. "Pemuda ini semasa hidupnya telah melakukan maksiat dan di darahnya banyak mengandung keharaman jadi ia akan tetap bersamaku," argumen Malaikat Azab tak mau kalah.

Di tengah perdebatan mereka turunlah Malaikat Hidayah sebagai penengah. Ia mengusulkan agar mengukur jasad pemuda itu dengan desa yang lebih dekat yakni desa yang di tinggalkan atau desa yang di tuju sang pemuda dengan titik tengah ialah sungai. Subhanallah ternyata desa yang dituju pemuda tersebut lebih dekat maka pergilah ruhnya bersama Malaikat Rahmat menuju ke surga.

Nah, anak didikku sekalian kisah tersebut mencerminkan salah satu ayat dari surat Az-Zumar yakni ayat 53. Dari ayat dan kisah tersebut kita dapat mengambil banyak pelajaran diantaranya kita tidak boleh mudah berputus asa apalagi dari hal kebaikan. Setan saja tidak mudah berputus asa dalam menggoda manusia dan selalu bersemangat mengajak manusia ke arah yang buruk. 90% mereka berhasil membelokkan manusia dari jalan yang lurus dan melupakan tujuan diciptakannya manusia. Kemudian pelajaran kedua yang dapat kita petik ialah kita harus beramal baik selama kita masih sanggup sebelum ajal menjemput kita karena hidayah dan ketentuan Allah dapat datang kapan dan di mana saja."Pencerahan Kyai Manshur yang menyita perhatian santri-santrinya. Matahari terbit di sebelah timur pesantren. Sinar kuning keemasanya menembus rimbunnya daun pohon kenari yang mulai bersemi beberapa daun kering gugur dan jatuh ke lapangan depan masjid jami' diterpa angin pagi yang berembus semilir. Membuat pelataran pesantren itu terlihat kotor. Pukul 06.15 seluruh santri berbaris layaknya serdadu berseragam putih bersiap mengikuti apel pagi yang dilaksanakan rutin tiap hari Senin.

Pagi ini siswi perempuan bukannya sibuk memmerbaiki kerudung seperti biasa mereka malah menghadap ke santri putra dan menggumamkan kata yang tidakku mengerti.

"A-DA AR-TIS YA ? KOK ME-RE-KA AN-TU-SI-AS BA-NGET ?," tanyaku pada Ainur yang berdiri di sampingku. "KAN A-KU SU-DAH BI-LANG TA-DI SHU-BUH A-DA SAN-TRI PU-TRA KA-LO NGGAK SA-LAH NA-MA-NYA GI-LANG...," cerocos Ainur tanpa memberikan jeda. Aku bahkan tidak mendengarnya menarik nafas meskipun Ia berbicara pelan tapi tetap terkesan cepat buatku. Ia tetap asyik menceritakan anak baru itu. Sekeren itukah dia ? Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku.

Apel pagi berlangsung begitu khidmat denganguyuran doa dari para santri untuk mengenang jasa pendiri pondok pesantren yang di nobatkan pahlawan nasional oleh pemerintah. 20 menit lebih awal peserta apel diistirahatkan. Berbeda dengan biasanya.‘’Mungkin akan ada pengenalan santri baru yang katanya keren itu,’’ kataku membatin.

"Ia peraih olimpiade dalam bidang seni tingkat Internasional dan berhasil membawa 9 medali emas untuk Indonesia. Ia juga memegang gelar siswa yang mempunyai IQ tertinggi se-Indonesia yakni 176. Iia juga pandai sekali bermain biola. Langsung saja ini Dia Gilang Satya Permana. Seluruh peserta upacara terlihat bersorak dan antusias mendengar pidato singkat dari kepala sekolah begitupun denganku hanya saja.

Aku sangat serius memperhatikan agar dapat memahami pidato meski yang kutangkap hanya sedikit. Seper sekian detik kemudian siswa yang menjadi sorotan itu pun maju ke depan membawa biola coklat lengkap dengan penggeseknya yang terlihat cocok sekali dengan warna kulitnya yang putih. 10 menit Ia menggesek Biolanya dengan tenang yang luar biasa. Selama itu pula Ia tidak pernah berhenti mendapat gemuruh tepuk tangan dan siulan yang dihujani para santri.Pukul 07.30 pagi peserta apel sudah meninggalkan lapangan menuju ke kelas masing-masing. Mereka terlihat seperti sekawanan anjing yang menghambur menuju majikannya yang membawa makanan.

Aku bergegas keluar dan menuju ke perpustakaan setelah guru Bahasa Indonesia keluar kelas pada pukul 09.45. Cukup luas ukuran ruang perpus. Terbukti adanya 7 rak berjajar yang berisi puluhan buku yang tertata rapi  menurut jenisnya. Mulai dari buku bacaan sampai pengetahuan tersedia di sini.Juga terdapat beberapa bangku dan meja untuk membaca. Perpus memang identik dengan susana tenang dan nyaman sehingga beberapa anak musik berlatih di sini.

Setelah menaiki 14 anak tangga ku hentikan langkahku untuk menarik napas. Bukan hal yang mudah menaiki 14 anak tangga dengan 9 buku setebal 400 halaman per buku di tanganku yang mungil ini. Tercium bau stella natural refresh yang menggantung di depan mesin pendingin setelah memasuki ruangan yang bercat biru muda itu.

Ku letakkan buku-buku itu di atas meja dengan kasar lalu ku tata rapi sesuai jenis di rak. Ku ambil buku sastra klasik yang terdiri dari 506 halaman berisi sajak karya Sufi Timur Tengah Jalaluddin Rumi yang karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan tersebar ke Seantero Eropa.

‘’Bila tak ku nyatakan keindahan-Mu dalam kata, ku simpan kasih-Mu dalam dada, bila tak ku cium bau mawar tanpa cinta-Mu maka segera saja bagai duri bakarlah Aku. Meskipun Aku diam tenang bagai ikan tapi Aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan.’’

Penggalan sajak tersebut mampu membawaku ke suasana timur tengah yang terik beberapa abad lalu. Mengenali sosok rumi yang 'penggila Tuhan'. Segera ku ambil notebook kecil dan pulpen untuk menulis ketika ku lihat tangan terulur di depanku  tidak lupa biola coklat dan penggeseknya yang terpegang di tangan kirinya. "Cari ini ?", tanyanya sambil menyodorkan pulpen berwarna pink yang sedari tadi ku cari.

‘’Kamu siapa ? Dan kenapa kamu di sini ?,’’ tanyaku melalui note book kecil yang kini ku sodorkan padanya. ‘’Aku Gilang. Aku mau nyari tempat untuk latihan biola. Kamu sendiri siapa ? Dan kenapa kamu nulis kaya gini?,’’   jawabnya juga melalui note book itu.

“Aku Melodi. Aku nulis kaya gini karena aku bisu. Aku juga tuli sejak berumur 3 tahun,’’ jawabku tanpa rasa penyesalan dalam hatiku. ‘’Lihat aku bermain biola ya, Ini melodi favoritku. Rasakan tiap notnya mengalir lembut di darahmu,’’ jawabnya.

Mulanya semua baik-baik saja hingga di akhir permainannya telingaku terasa nyeri sampai ke kepala. Telingaku serasa berair. Ketika ku pegang hanya ada bercak di telapak tanganku. Darah. Telingaku keluar darah. Pandengaranku mulai berputar dan kabur di iringi olengnya tubuhku. Sepersekian detik semua berubah gelap. Gelap. Gelap...

Sinar-sinar keemasan menembus tirai putih sebuah ruangan menimpa mataku membuat kesadaranku kembali. Di luar burung-burung berenang di antara gumpalan kapas putih mengambang. Ini bukan kamar asramaku kataku dalam hati ketika ku dapati ruangan itu terasa asing bagiku. Ku coba untuk mengingat kembali kejadian kemarin. Perpustakaan, buku, gilang, melodi biola itu, pusing, darah, dan gelap. ‘’Ini pasti rumah sakit’’, kataku setelah ku yakin karena selang infus tertancap di punggung tanganku. Jubah berwarna pink pastel yang dipadu padankan dengan kerudung senada itu membuat ibuku terlihat 5 tahun lebih muda meskipun di matanya yang memakai kacamata itu tersirat rasa lelah. Di samping ibu berdiri bu Ena dan teman seangkatan yang masih mengenakan setelan seragam gurunya. Perempuan paruh baya itu tersenyum padaku.

"Di mana Gilang ?" tanyaku seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Nihil. Raut wajah mereka berubah dingin. Hening perasaanku mendadak dilanda cemas dan khawatir. "Kamu tahu nak Gilang terkena leukemia dan kini dia sedang kritis setelah mengalami koma selama seminggu. Kalau kamu ingin melihatnya mari ibu bantu kamu melihatnya" kata ibu seraya membantuku duduk di kursi roda yang di pegang bu Ena.

Waktu seakan berjalan lamban sekali ketika ku saksikan pemandangan itu langsung melalui kedua mataku. Tubuh atletis gilang menggigil hebat. Tangan dan kakinya mengejang tanpa henti. Dokter dan suster berlalu-lalang di sekitar Gilang tegang dan panik. Hidungnya berdarah banyak sekali. Dadanya ditempel beberapa kabel yang kini dilepas satu per satu untuk dikejut jantung. Air mataku mengalir deras ketika tubuh itu mulai ditutup kain putih. Selang infusnya sudah dicabut oleh suster. Alat bantu pernapasan yang menutupi wajahnya pun dilepas. Menampakkan wajah pucat sang jenius. Hening, senyap, gelap, dingin bercampur jadi satu. Meski ada banyak isak tangis yang ku dengar karena kini Aku sudah dapat mendengar. Semua mata berair terpaku menatap tubuh yang kini tidak bernapas nan tidak bernyawa. Di luar hujan begitu lebat seakan menyampaikan salam dukanya. 9 bulan setelah pemakaman Gilang.

Gemuruh tepuk tangan memenuhi aula pondok pesantren Mantingan setelah mendengar alunan melodi Bach dari biola kayu bercat coklat yang dimainkan oleh seorang gadis bisu yang mengalun indah penuh sentakan semangat mengalir di nadi pendengarnya yang kebanyakan dari walisantri.

"Melodi ini kini sudah menjuarai kompetisi musik Internasional di Canada dan berhasil membuat harum nama Indonesia," kata pembawa acara perpisahan kelas akhir menerangkan. ‘’Ini untuk kamu Gilang. Karena kamu Melodi bisa mendengar melodi. Melodi bisa memainkan melodi. Karena 9 bulan lalu kamu menitipkan biola bertanda tangan kamu ini pada ibuku,’’ kataku dalam hati sembari turun dari panggung.

Di luar matahari bersinar cerah dengan semburat sinar hangat keemasannya. Seakan menyampaikan salam hangat dari 'Azza wa jalla untuk penghuni bumi. Burung-burung berkejaran di antara awan-awan yang terlihat berserakan. Samudera biru tanpa ikan terhampar sejauh mata memandang. Pohon-pohon di halaman sekolah mulai bersemi. Seperti impian baru melodi yang mulai tumbuh andainya tunas kelapa yang bertunas setelah badai melodi sang pemain biola.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment