NGILU NAHWU
Muhammad Syihabudin X IPA

By Redaktur 23 Jan 2019, 09:41:12 WIB Tulisan Siswa

NGILU NAHWU

(Muhammad Syihabudin X IPA)

 

Baca Lainnya :

Deburan kosmik menyelimuti angkasa, masuk ke rongga kehidupan, membangunkan kalbu tuk gerakkan keyakinan, aku mulai sadar dari remang remang sisa mimpi semalam. Aku berdiri menunaikan kewajibanku, pak Kyai Kalim mengimami solat subuh kali ini. Biasanya yang mengimami adalah ustad I’rob ketika Pak Kyai berhalangan, tetapi kulihat Pak Kyai sehat wal afiat, walaupun umurnya sudah berkepala tujuh. Usai solat subuh para santri biasanya membaca Al Quran sampai matahari terbit, kemudian setelah membaca Al Quran para santri lalaran. Istilah pesantren hafalan. Nadhom kitab nahwu dan shorof. Setelah itu kami mandi untuk memenuhi hak hak badan, badan segar otak pun bugar. Para santri ke kelas masing masing guna mengikuti kegiatan belajar mengajar.

            Dering bel manandakan bahwa para santri harus masuk ke kelas pada waktu itu juga, aku  sepertinya agak terlabat datang, tak ayal lagi di depanku sudah ada hamparan anak yang sedang menyimak penjelasan ustad I’rob. Aku pun masuk dan memberi salam, ”Assalamualaikum,” Ustad Irob  beserta santri menjawab,  “Waalaikum salam.’’ ‘’Kenapa terlambat Jer?,’’ tanya ustad I’rob. Dengan terbata bata aku menjawab, “Karena ngantri mandi ustad.” Ustad sudah paham dengan keadaannya, kemudian ia menambahi, ” Hafalan alfiyah  Ibnu Malik 1002 nadzom, setorkan pada akhir bulan nanti.” Aku menjawab,” Ya ustad.” Ustad pun mempersilahkanku duduk. Kepalaku langsung meluap seketika, ‘’Bagaimana caranya dapat menghafal 1002 nadzom, lha wong awamil saja belum khatam.’’ Pelajaran pun berlangsung dengan lancar. Kemudian berderinglah bel menandakan sekolah diniah telah usai.

            Aku masih berada di dalam kelas, meratapi nasibku tadi yang telah tertimbuni oleh sepenggal masalah yag ringan. Aku bingung tak menentu arah yang harus kutempuh. Kemudian datanglah 3 kawanku, tak lain tak bukan adalah Nasab, Rofa’, Jer dan, Jazem. Mereka menyapaku, “Ada apa teman, janganlah kau pendam masalahmu sendiri. Bagilah perasaan dengan handai tolanmu ini.” Aku menjelaskan permasalahanku secara detail bak orang yang ditanyai hakim agung. Mereka berhenti sejenak, berangan angan membayangkan pak Kyai yang menjelaskan petuah petuahnya. Nasab berkata,  ”Kau harus mengejerkan hatimu (tunduk dan tawadlu’).” Rofa’ berucap,  ”Kau pun harus menanwinkan tekadmu (niat yang benar mencari ridho Allah).”  Jazem pun melengkapi semua itu, ”Tak lupa jagalah nida’, musnad ilaih (berzikir,berpikir,dan beramal nyata).” ”Terima kasih kawanku, engkau memang temanku yang terbaik,’’ ucapku. Aku pun menyadari bahwa aku adalah manusia dan aku pun teringat kembali pepatah Man Jadda Wajada. Barang siapa bersungguh sungguh akan terwujud segala keinginan. Aku keluar dari kelas dengan kaki yang terasa lebih ringan.

            Inilah suka dan duka santri, tiada suka yang lebih indah bila dirasakan bersama-sama, tiada duka yang tersimpan bila kita saling berbagi rasa. Kalau tiada nadzom, rasanya seperti ada yang kurang. Sebelum tidur pun tak lupa aku membaca nadzom, sampai-sampai aku tidur pun membawa nadzom. Tak lupa aku bertawassul kepada sang pengarang kitab alfiyah yaitu Imam Ibnu Malik. Nama lengkapnya adalah Imam Abi Abdullah Muhammad Jamauddin bin Malik.

Waktu berlalu, hingga H-14. Aku pun belum dapat setengah dari nadzom, walaupun begitu jatuh bangun aku, pasang surut perasaanku. Tetapi ada seseorang yang selalu membuat diriku termotivasi yakni ustad Khofd dan kedua orangtuaku, ustad khofd pernah khatam nadzom Alfiyah. Jalannya pun berlika liku, bergelombang, dan tidak mulus. Mulai dari dihukum, diskors sampai tugas apapun ia lakukan dengan ikhlas. Ustad pun tidak menyerah, berkat dukungan dari kedua orang tua dan temannya yaitu ustad I’rob. Pernah suatu hari ia disuruh setoran satu kitab nadzom Alfiyah oleh Kyai Kalim, awalnya ia sudah menyetorkan separuh,kemudian datanglah sekelebat bayangan wajah Kyai Kalim yaitu Mu’annats. Seketika itu juga hafalannya berhenti, ia tak berkata sepatah katapun, lalu Pak Kyai memberi wejangan, agar fokus terhadap apa yang dilakukan, belum waktunya memikirkan wanita. Sekarang adalah waktu belajar untuk mempersiapkan watak diri yang matang dan ilmu yang matang. Jodohpun sudah diatur oleh yang Kuasa.

Ustad Khofd pun melaksanakan wejangan Pak Kyai,akhirnya selang beberapa hari, ustad Khofd telah mengkhatamkan hafalan nadzom Alfiyah. Pengalaman yang tak ternilai itu pun disampaikan olehnya untuk menjadi motivasi bagi muridnya. Semangat pun tergugah kembali, tak kenal siang, tak kenal malam, aku selalu membaca nadzom ini, walaupun temanku asyik bermain, seakan angin yang lewat aku biarkan saja ia.

            Tak terasa sekarang sudah H-7 berdebar debarlah perasaanku menunggu saat saat bersejarah. Aku sudah hafal 800 nadzom, tinggal beberapa langkah lagi, akupun tahu kewajibanku yakni melaksanakan syariat Islam dan menuntut ilmu. Aku bermunajat kepada Allah agar diberikan kemudahanan dalam menghafalkan nadzom ini dan semoga Allah ridho dengan yang kukerjakan ini.

Dan aku berharap agar ilmuku dapat bermanfaat bagi seluruh orang.

            H-2, aku tingkatkan solat malam, solat hajat, dan lain-lain. Aku jaga puasa sunnah. Tinggal 50 nadzom lagi, usailah hafalanku. Semua ini aku hanya dapat berikhtiar, tawakkal, qona’ah. Tetapi Allah tidak tuli, tidak buta, tidak bisu, dan Allah mengabulkan doa hambanya. Aku meminta restu ke kedua orang tuaku dan sowan kepada Kyaiku untuk meminta restu dan doa. Kyaiku juga berpesan agar melanjutkan pencarian ilmu karena hafal merupakan setengah dari  paham agar menjadi orang yang paham.

H-1 tak kuasa aku melanjutkan pengembaraan ini.   Tinggal setapak lagi aku telah sampai ketujuanku, aku kira jalanku masih panjang membentang. Setelah ini aku melanjutkan pencarian ilmu yang lebih luas. Kupersiapkan fisikku, mentalku, seluruhny aku persiapkan elok-elok.

Tinggal hari ini, hari penentuan, hari setoran yang agung, tiada lain ustad I’rob sudah menungguiku di kelam. Aku mengucap salam, ia pun menjawab salam dengan ramah. Aku masuk dan duduk di hadapannya. Beliau mempersilahkanku untuk memulai setoran. Setelah beberapa jam, aku menyetorkan hafalanku.  Akhirnya tinggal sedikit lagi, ustad membisikiku, “Jangan menyerah, wahai muridku.” Ustad memberiku nasihat, ilmu nahwu adalah ilmu yang paling dasar dan dasar itu harus kokoh agar tidak goyah dan kini engkau akan melanjutkan pengembaraanmu, keseluruh sumber ilmu di dunia ini. Janganlah kau melupakan pepatah Ulama’ salaf dan Kyai sepuh, selamat berjuang muridku. Telah usai masa pembekalanku, dan aku mempersiapkan diriku untuk menghadapi ujian di masa mendatang. Aku pun menulis pesan yang tersirat sedemikian rupa.

 

Kau datang dengan perangai yang minim

Bersimpuh taat di hadapan Pak Kyai

Tuk gapai keberkahan dan kemanfaatan ilmu

Apa daya seorang santri tanpa Kyai

Bagai pohon tak berakar kekar

Tumbang tanpa perantaraan

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment